Akhir-akhir ini, nama UIN Alauddin Makassar kembali mencuat, bukan karena prestasi gemilang atau terobosan akademik, melainkan karena rangkaian peristiwa yang menuai kontroversi. Mulai dari kasus dugaan peredaran uang palsu, isu efisiensi anggaran yang menjurus ke nihilnya dana untuk lembaga-lembaga mahasiswa, hingga yang paling menghebohkan: akun resmi Lentera UIN Alauddin dibajak dan diubah menjadi akun promosi judi slot.
Pertanyaannya, seburuk itukah kondisi UIN Alauddin saat ini, hingga akun resmi organisasi kampus pun bisa jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab?
Kasus ini bukan sekadar soal peretasan digital. Ini lebih dalam. Ini menyentuh integritas sistem, keamanan kelembagaan, dan kepercayaan publik terhadap kampus Islam negeri ini. Bagaimana bisa sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dengan sejarah panjang dan jumlah mahasiswa ribuan tak mampu menjaga kanal resmi organisasinya? Apakah ini hanya keteledoran semata, atau justru sinyal bahwa sistem pengelolaan UIN Alauddin memang sedang bermasalah?
Sebagian pihak menganggap ini adalah refleksi dari buruknya tata kelola dan minimnya perhatian terhadap organisasi kemahasiswaan. Bisa jadi ini adalah bentuk protes yang ekstrem dari oknum yang kecewa terhadap sistem, atau justru indikasi adanya pembiaran dan lemahnya kontrol internal.
Namun, di sisi lain, tak sedikit pula yang menilai bahwa membesar-besarkan insiden ini justru bisa merugikan citra institusi secara keseluruhan. Mereka menganggap ini hanya ulah oknum dan tidak bisa digeneralisasi sebagai cerminan keseluruhan kondisi kampus. “Setiap kampus pasti punya masalah,” kata sebagian kalangan, “tapi bukan berarti kampus itu bobrok.”
Tapi mari kita jujur, ini bukan pertama kalinya UIN Alauddin menjadi sorotan. Sebelumnya sudah banyak suara-suara mahasiswa yang mengeluhkan pembatasan ruang demokrasi, lemahnya transparansi anggaran, serta ketimpangan dalam distribusi hak-hak organisasi. Semua ini membentuk pola yang membuat kita bertanya-tanya: apakah ada yang sedang tidak beres di dalam?
Kini publik menanti langkah serius dari pihak rektorat. Apakah akan ada evaluasi menyeluruh, pembenahan sistem keamanan digital, serta pendekatan yang lebih inklusif terhadap organisasi kemahasiswaan? Atau, apakah semua ini akan kembali berlalu begitu saja, seperti banyak kasus sebelumnya?
Sudah saatnya UIN Alauddin Makassar merefleksikan diri secara serius. Jika tidak, jangan salahkan publik bila mulai bertanya: Apakah UIN Alauddin memang sedang berada di titik nadirnya?