X

Raja Ampat: Antara Kemakmuran dan Kehancuran – Dilema Tambang Nikel

Oleh Ahnaf Amanullah Gangka

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Raja Ampat, dikenal luas sebagai surga bawah laut dunia, yang terletak di gugusan pulau Papua Barat, kini menghadapi dilema serius: mengejar kemakmuran ekonomi lewat eksploitasi nikel, atau menjaga kelestarian lingkungan yang tak ternilai.

Sebagai mahasiswa, saya memandang rencana penambangan nikel di Raja Ampat sebagai ancaman besar bagi ekosistem yang rapuh dan masa depan masyarakat lokal. Memang, industri tambang nikel menjanjikan keuntungan ekonomi dalam waktu singkat. Namun, manfaat sesaat ini tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang yang akan ditimbulkan mulai dari pencemaran air, udara, tanah dan penggundulan hutan, hingga sedimentasi yang merusak keperawanan terumbu karang. Semua ini bisa berdampak langsung terhadap kehidupan laut dan sumber penghidupan masyarakat yang bergantung pada sektor perikanan dan pariwisata.

Padahal, selama ini, pariwisata berkelanjutan telah menjadi tulang punggung ekonomi Raja Ampat. Siapa yang akan berkunjung ke destinasi yang tercemar dan rusak? Penurunan daya tarik wisata akan menghantam pendapatan masyarakat lokal serta ekonomi daerah. Investasi jangka panjang dalam pariwisata ramah lingkungan jelas lebih berkelanjutan dan menguntungkan dibandingkan eksploitasi sumber daya alam yang tak terbarukan.

Lebih dari itu, rencana penambangan nikel di kawasan seperti Raja Ampat menimbulkan pertanyaan serius mengenai penegakan regulasi dan perizinan. Secara hukum, ada sejumlah aturan yang mengatur perlindungan lingkungan dan wilayah pesisir yang harus dijadikan pedoman.

Pertama, Pasal 35 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 dengan tegas menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.” Jika penambangan terbukti mencemari perairan atau merusak habitat laut, maka sudah melanggar ketentuan tersebut.

Kedua, berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki ekosistem penting, seperti terumbu karang dan hutan bakau, harus dilindungi. Pasal 23 ayat (2) menyebutkan bahwa pemanfaatan ruang pesisir tidak boleh merusak fungsi ekologis wilayah tersebut.

Dipublikasikan pada 14 June 2025