Pada tahun 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup menggegerkan, yakni memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah mulai Pemilu 2029. Putusan ini menjadi sorotan banyak pihak karena menyangkut aspek konstitusional dan masa depan demokrasi Indonesia. Tulisan ini bertujuan mengkaji kewenangan MK, implikasi putusan, serta tantangan yang muncul dalam penerapannya.
Sebagai lembaga pengawal konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, kewenangan tersebut bersifat sebagai “negatif legislator”, yakni hanya membatalkan norma yang bertentangan dengan konstitusi, bukan menciptakan norma baru. Dalam putusan ini, MK justru menentukan rentang waktu pemisahan pemilu selama 2 sampai 2,5 tahun—sebuah langkah yang biasanya menjadi domain legislatif dan eksekutif. Fenomena ini dikenal sebagai judicial activism, di mana pengadilan mengambil peran lebih jauh dari fungsi yudisialnya.
Konstitusionalitas putusan ini juga dipertanyakan karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur pemilu dilaksanakan serentak setiap lima tahun. Pemisahan jadwal pemilu berpotensi memperpanjang masa jabatan kepala daerah melalui pejabat sementara yang tidak dipilih rakyat, yang jelas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Selain itu, putusan ini memaksa DPR dan Pemerintah untuk merevisi undang-undang pemilu secara cepat agar sinkron dengan putusan MK, jika tidak akan terjadi kekosongan hukum dan potensi sengketa.
Meskipun demikian, putusan ini memiliki niat mulia, yakni meningkatkan kualitas demokrasi dengan mengurangi beban penyelenggara pemilu dan mencegah kelelahan politik. Sebagai “wasit demokrasi”, MK berupaya menyeimbangkan antara prinsip hukum dan praktik demokrasi yang sehat. Namun, kewenangan MK harus dibatasi agar tidak mengganggu prinsip pemisahan kekuasaan dan demokrasi prosedural.
Sebagai generasi muda dan mahasiswa, kita harus aktif mendorong dialog terbuka tentang reformasi sistem pemilu yang inklusif dan konstitusional. Putusan ini menjadi pengingat bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi juga kualitas penyelenggaraan dan legitimasi politik. Dengan demikian, upaya memperbaiki demokrasi harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan tanggung jawab agar Indonesia dapat terus maju sebagai negara hukum dan demokrasi yang berdaulat.