X

Film How to Train your Dragon (2025) dan Kaitannya dengan Kebijakan

Oleh Kamil Anshari

Mahasiswa Hukum tatanegara

Terkadang yang membuat sesuatu tampak buruk bahkan mengerikan adalah mindset kita, karena terkadang impresi kita terhadap sesuatu itu sangat berlebihan sehingga kita bisa saja melakukan tindakan yang melebihi ambang batas

Hal ini juga bisa kita kaitkan dalam konteks kebijakan negara, proteksionisme yang berlebihan akan melahirkan kebijakan yang kaku bahkan ofensif dengan dalih defensif

Dan anda perlu tahu, keputusan yang lahir dari stimulus emosi yang berlebihan, akan melahirkan tindakan yang irasional, karena secara neurosains, ketika otak didominasi oleh otak emosi atau Amygdala, maka Prefrontal Cortex (otak rasional) kita akan mengurangi operasionalnya

Nabi Muhammad pun melarang hakim menjatuhkan putusan ketika dalam keadaan Marah atau emosi tidak stabil

Barangkali ini juga relate jika kita kaitkan dengan peperangan, di mana dua pihak yang berkonflik sudah pasti mendapatkan stimulus dari otak emosi mereka sehingga habislah semuanya di babat segala objek di depan mata

Maka, betullah kenapa lahir yang namanya hukum perang atau Hukum Humaniter Internasional dalam konteks sekarang, karena hukum itu mesti lahir dari prosedur yang rasional dan perasaan yang positif, sehingga aspek-aspek Kemanusiaan tidak hilang dalam substansi hukum yang dilahirkan itu

Nah, sepertinya menarik kalau kita mengambil contoh dari film how to train your dragon yang baru rilis tahun ini

Di film tersebut diceritakan kisah Penduduk desa viking yang hidup dengan naga-naga

Awalnya, relasi mereka dengan naga tersebut selalu diwarnai dengan keributan dan kericuhan, bahkan tidak jarang desa mereka diserang berbagai semburan api

Namun, terdapat satu anak dari kepala suku yang berbeda mindset dari penduduk lainnya, di mana dia memandang para naga bukan sebagai ancaman

Meskipun, sebelumnya dia memandang seperti itu, namun setelah dia menemui salah satu naga yang paling dicari Penduduk desa, night fury, dia melihat bahwa para naga tersebut sebenarnya tidak ingin menyerang namun mereka merasa terancam sehingga sebagai bentuk defensif atau pembelaan diri mereka, maka para naga tersebut selalu menyerang para penduduk desa, dan mendapatkan feedback berupa serang balik dari penduduk juga

Nah, setidaknya anak kepala suku tadi sudah mencerminkan sikap yang rasional, di mana dia tidak terlalu terburu-buru dalam melakukan penilaian terhadap suatu objek sebelum memikirkannya dengan matang menggunakan otak rasional

Akhirnya juga, dengan sikap dia seperti itu turut mempengaruhi impresi penduduk desa terhadap naga tersebut, meskipun setelah mereka mengalahkan ratu dari naga-naga yang selama ini menyerang mereka di pulau tempat mereka bersarang

Tapi, dari cerita tersebut, salah satu makna terbesar yang bisa kita petik adalah kita tidak boleh hanya menggunakan satu perspektif dalam melakukan penilaian terhadap suatu objek (makhluk) namun juga perlu mempertimbangkan perasaan dari yang lain

Karena di dunia ini, Allah menciptakan manusia dengan akalnya masing-masing dan pasti memiliki model berpikir satu sama lainnya, namun manusia memiliki kesamaan dalam fitrah, yaitu memandang yang lain dengan sudut pandang kemanusiaan

Seperti yang diungkapkan oleh Jean Jacques Rousseau, bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki naluri alamiah yang baik, namun yang sering membuat mereka bertikai adalah kepentingan yang berbeda-beda (conflict of interest)

Namun, jangan lupa, manusia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa, sebagaimana yang difirmankan Allah,

 _Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan dan hati nurani, agar kamu bersyukur._ ( An Nahl: 78 )

Anugerah berupa panca indera dan juga hati nurani itulah yang akan membentuk substansi dari diri kita, cara berpikir kita, impresi dan perasaan kita. Sehingga, faktor lingkungan dan keluarga maupun masyarakat menjadi penyumbang terbesar dalam membentuk kepribadian seseorang.

Dipublikasikan pada 27 July 2025